Tujuh belas tahun yang lalu, saat pertama kali menginjakan kaki di bumi seribu sungai ini, merupakan pengalaman tak terlupakan. Mencoba beradaptasi dan memahami semua geliat kehidupan, budaya serta segala sesuatu keunikannya, adalah upaya membumi pada tanah yang dipijak, dan menjunjung langit yang menaungi. Budaya dan kebiasaan yang berbeda, tidak membuat kesulitan berarti, karena ada gereget petualang, proses penaklukan pada adaptasi yang menyenangkan. Membina hubungan baik dengan orang-orang baru, mengikatnya dalam silaturahim yang indah, memanjangkan dan memperluas persaudaraan,.
Banyak peristiwa terjadi selama kurun 17 tahun. Pepatah "saudara terdekat adalah tetangga" terbuktikan dengan jelas. Menambah banyak orang tua, kerabat bahkan anak-anak, yang ketulusan serta doanya tidak ubahnya saudara sedarah. Kami menjalani serta menikmatinya dengan bahagia, hingga tidak terasa 17 tahun sudah terlewatkan.
Suatu hari, terlontar dari mulut anak-anak, yang mengharapkan orang tuanya menghabiskan masa tua di kota ini, tempat mereka dibesarkan. Dengan bangga mengatakan pada semua orang, Banjarmasin adalah kampung halamannya, serta tanpa ragu mereka menyebut sebagai "bubuhan urang banjar". Kami hanya bisa tersenyum simpul, memahami serta menyerap makna dari semua ini. Harapan dan kebanggaan anak-anak, bukan untuk meniadakan darimana ayah-ibunya berasal, tapi lebih karena proses adaptasi kami berhasil, dilakukan dengan gembira. Keluarga kami menjadi sangat kaya sejarah, sangat indonesia sekali dalam silsilahnya.
Anak-anak dari kecil senang serta berbinar kalau mendengar sejarah orang tuanya, mengakui, bangga, tapi dengan mantap mengatakan, kami "urang banjar". Mengurai sejarah dan silsilah, pada darah saya, mengalir dengan kuat jawa-mandailing dari ayah, sunda-palembang dari ibu. Dan karena saya dibesarkan di lingkungan ibu yang sangat sunda, maka Sunda lah yang selama ini mendominasi. Bahkan saya lancar berbahasa jawa, setelah saya berkumpul dengan teman-teman satu kost, asal jawa tengah pada masa kuliah. Hal itu ternyata cukup menggembirakan bagi keluarga Ayah, karena akhirnya saya tidak hanya pasif, tapi bisa aktif berinteraksi dalam bahasa jawa, tempat dimana keluarga ayah berasal. Sementara Mandailing dan Palembang, hanya silsilah keluarga besar, hal-hal detailnya, betul-betul terlewatkan, saat kakek & nenek dari Ayah-Ibu memutuskan untuk beradaptasi dengan "kampung halaman keduanya, yang mengantarkan beliau sampai akhir masa pelayaran kehidupannya. Di masing-masing kampung halaman keduanya, rumah masa depan bernisan menuliskan nama-nama beliau.
Sementara suami, walaupun dominan berdarah jawa, tapi pujakesuma, putera jawa kelahiran sumatera, dimana asimilasi budaya jawa-sumatera sangat dominan. Pada perjalanan kehidupannya, Kota Bandung menjadi tempat pelabuhan terakhir untuk Ibu mertua, sebagai Kampung Halaman kedua beliau. Tempat menghabiskan masa tuanya, dengan tetap mengenang kuat sebuah tempat benama Sawit Seberang, di Langkat, Sumatera Utara, tempat beliau lahir. Di Sawit itu beliau terikat secara emosional, menghabiskan separuh perjalanan hidupnya dan tempat rumah masa depan suami beliau, ayah mertua kami. Kesembilan anak-anaknya pun berpencar, menempati kampung halaman keduanya, bersinggah-singgah di setiap terminal kehidupannya, entah dimana masing-masing akan menghabiskan titik akhirnya.
Bicara kampung halaman, selain tempat lahir dan masa kecil, lamanya kita tinggal cukup mempengaruhi. Kalau dihitung ternyata saya, tinggal dan besar di kuningan, jabar (10 thn), Cirebon (8 tahun), Bandung (7 tahun) dan Banjarmasin (17thn) sampai dengan hari ini.
Menuliskan angka-angka ini, bukan untuk menghapus kenangan asal dan masa kecil, tetapi dayung kehidupan saya, ternyata mengalir sampai disini.
Apakah ini menjadi akhir pelabuhan ?? Tempat rumah masa depan, saat menghadap sang khalik?? Hanya Allah yang tahu dan menentukan, kemana dayung ini kembali akan dikayuh, atau disimpan di pelabuhan terakhir di sini.
Saat telah menjadi orang tua, ketika bermimpi, merencanakan dan membangun masa depan, penghargaan atas harapan anak-anak, kebahagiaannya menjadi bagian penting dalam pertimbangan. Perahu akan didayung pada jalur mimpi dan rencana itu, tetapi saat Tuhan berkehendak lain, maka itulah yang terbaik di akhirnya. Belajar pada kehidupan, setiap orang memiliki mimpi, rencana dan jalur hidupnya masing-masing, tetapi jauh di lubuk hatinya, selalu mendambakan "tempat pulang" bernama "kampung halaman".
Ternyata "kampung halaman" yang dirindukan adalah yang secara real memberikan torehan-torehan mendalam yang berkesan. Bukan yang sesaat atau hanya diperkenalkan karena sejarah leluhur.
Tentunya tanah silsilah tetap berkontribusi akan kerinduan itu, tetapi prosentase-nya tidak sebesar tempat-tempat dimana kita mempunyai tabungan emosi terhadapnya. Ada teman, sahabat, kisah-kisah indah bahkan mungkin duka yang menemani sepanjang perjalanan seseorang.
Kampung halaman yang selalu saya rindukan adalah Kuningan, Cirebon dan sekarang Banjarmasin. Pada ketiga kota itu, sejarah kehidupan diukir. Bahkan saat mengenangnya, masih tergambar jelas, bagaimana pematang sawah, "balong" dan pohon depan sekolah di sebuah desa, bernama Ciawigebang di Kuningan sana. Hal yang sama saat mengenang Cirebon, ada kerinduan yang tidak pernah padam, sebagaimana kerinduan akan Banjarmasin, jika terlalu lama meninggalkannya. Banyak hal yang mengikat di sini.
Tetapi bagi anak-anak saya, Kuningan, Cirebon, Sawit Seberang, Medan adalah nama kota yang mereka ingat, hanya bagian dari sejarah silsilah hidup mereka, tepatnya sejarah orang tuanya. Tidak terlalu banyak tabungan emosi, peristiwa yang mengendap dalam hidupnya. Mungkin ada keinginan berkunjung untuk memanjangkan & menyambung silaturahim dengan keluarga orang tuanya. Tapi untuk kerinduan dan tempat pulang, mereka merindukan Banjarmasin, dengan sejuta kenangan, sahabat dan saudara-saudara barunya. Itulah fakta dan sunatullahnya.
Mimpi, cita-cita, rencana dan proses mencapainya, kadang berkonsekuensi pada jarak yang memisahkan. Tetapi jika niat kita kuat untuk tetap menjalin silaturahim, dengan keluarga apalagi orang tua, Tuhan akan memudahkan, semesta akan mendukung. Pada niat baik yang kuat, Allah selalu memberi jalan dan kemudahan untuk tetap bersilaturahim, melepas rindu pada "kampung halaman sejati", yaitu di hati dan pelukan ayah-ibu, dimana pun beliau berada. Sementara pada kampung halaman lain secara fisik, tetap bisa tersambungkan, untuk melepas kerinduan, bernostalgis, menengok kisah-kisah serta mimpi masa lalu.
Kepada anak-anak selalu disampaikan, untuk menabung "kenangan", "kasih sayang", serta indahnya kebersamaan bersama keluarga, letakan di hati terdalam, dalam ketulusan cinta satu sama lain. Maka, "kampung halaman" yang hakiki, akan ada di hati, bersama keluarga terdekat, dimana pun "dayung kehidupan" melabuhkan "kapal kehidupan" kita, baik sementara maupun pada masa akhirnya. Pada ketulusan orang tua inilah, kelak anak-anak akan melabuhkan kerinduan akan "Kampung Halaman" sejati. Pada pelukannya atau bahkan ketika mengusap nisan dengan tulisan nama, dengan hantaran doa-doa terbaik.
Jauh di lubuk hati, ada doa dan harapan dipanjatkan, pada rumah masa depan, dimana nisan akan dituliskan nama, berharap menjadi titik pencapaian untuk berangkat menuju tempat terbaik di sisiNya, dimana pun tempat itu nantinya. Dan berharap di titik itulah kerinduan anak-anakku akan memanggil, duduk bersimpuh menghantarkan doa tulus dan terbaik untuk memperindah rumah masa depanku.
Aamiin Ya Rabbal Alamin. Kabulkanlah Ya Allah....
Banjarmasin, 5 juli 2012
15 Sya'ban 1433