Kata “Alternatif’ saat ini menjadi populer, dari mulai pengobatan alternatif, lembaga keuangan alternatif, caleg atau partai alternatif, capres alternatif, dan semua yang mengambarkan sebuah jalan keluar atau harapan baru. Pengobatan alternatif begitu marak menjadi pilihan masyarakat, tidak saja untuk mereka yang kurang mampu, tetapi juga untuk mereka yang telah putus asa atau krisis kepercayaan kepada pengobatan dan pelayanan medis. Lembaga keuangan alternatif menjadi pilihan, atas sulitnya mendapat bantuan modal atau pinjaman dari lembaga resmi, atau bahkan kadang menjadi pilihan investasi yang menyilaukan.
Demikian juga dengan munculnya partai alternatif, calon pemimpin alternatif, semua menjadi pilihan atas akumulasi kekecewaan dan ketidakpercayaan pada partai yang telah meninggalkan catatan hitam dengan segala kiprah buruknya. Korupsi-Kolusi-Nepotisme saat berkuasa, janji-janji palsu, perilaku kader yang menyakiti hati rakyat, serta hal-hal buruk lainnya. Sejarah mencatat, sepanjang perjalanan negeri ini, kekuasaan bisa mengubah kebaikan menjadi ketamakan, idealisme menjadi egoisme pribadi / kelompok, dan lepasnyaikatan-ikatan amanah atas nama kehausan akan kelanggengan kekuasaan. Semua begitu buruknya hadir dalam panggung politik kita, memuakan, menimbulkan krisis kepercayaan kepada orang-orang, partai atau segala sesuatu yang berbau politik.
Apakah “alternatif” merupakan solusi terbaik ? Jawabnya adalah belum tentu, bahkan bisa jadi hasilnya lebih buruk. Apalagi jika dilakukan oleh mereka yang hanya sekedar memanfaatkan momentum & keadaan. Berapa banyak pengobatan ‘alternatif’ yang ujung-ujungnya adalah penipuan ? Berapa banyak lembaga keuangan alternatif yang menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat, pada akhirnya menggulung semua modal dan kekayaan yang ada ?
Pengobatan “alternatif’ tetap mendapatkan pasarnya, dan banyak yang bisa memberikan testimoni atas kesembuhannya. Entah itu memang bisa dibuktikan dalam kacamata medis, atau sekedar sebuah keyakinan yang dinamakan ‘sugesti’. Tetapi tidak semua buruk, banyak juga yang terbantu. Dan memang ‘sugesti’ atas kesembuhan, sudah merupakan bagian dari kesembuhan itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan partai, caleg, capres alternatif ? Apakah mereka dengan berbagai simbol perubahan, dipastikan bisa menjanjikan perubahan ataukah hanya akan menghasilkan sesuatu yang sama bahkan bisa jadi lebih buruk ?
Pembuktian dalam panggung politik tidak bisa hanya testimoni para pendukungnya atau paparan visi misi Sang Alternatif yang begitu menjanjikan. Pemimpin alternatif bukan hanya bisa memberikan ‘sugesti’ keberhasilan masa depan bangsa dalam pidato-pidatonya, dengan selalu menggambarkan simbol dirinya sebagai duplikat atau kelanjutan “Bapak Bangsa”. Bukan juga calon pemimpin yang memanfaatkan momentum, dengan menebar kerinduan kepada masa “orba”, sebagai pembanding atas buruknya masa kini, hanya untuk mencari dukungan dan simpati dari orang-orang yang berada dalam keputus asaan keduanya.
Calon pemimpin alternatif yang dirindukan adalah yang mau kerja nyata, bukan lagi simbol, citra, dan ‘settingan’ media. Pada sosoknya akan muncul kharisma yang dititipkan alam untuk bisa mengalahkan berbagai stigma atas simbol seorang pemimpin.
Demikian juga dengan partai dan caleg, perjalanan sejarah politik begitu melukai hati rakyat atas ulah mereka. Memilih mereka hanya menjadi ajang transaksional, bukan ketulusan ataskeyakinan aspirasi yang bisa terwakili. Karena semua sudah mahfum, bahwa intensitas kedekatan antara caleg/partai dengan rakyat pemilihnya hanya akan terjadi 5 tahun sekali, pada saat suara mereka dibutuhkan sebagai hitungan & angka-angka, bukan sebagai aspirasi yang harus diperjuangkan. Maka betapa mirisnya ketika seorang caleg harus berhitung “modal” untuk bisa mendapatkan angka-angka hitungan pemilih. Semua itu dianggap realistis. Di lain pihak, rakyat memandang wajar sebuah transaksional antara pemilih dan yang dipilih. Keuntungan & janji nyata harus diwujudkan & didapat saat ini, karena jika sudah duduk di kursi yang terhormat, maka janji itu menjadi kabur dan terbang sebagai mimpi. Tentunya kewajaran yang memprihatinkan dan melukai makna demokrasi itu sendiri.
Pesta demokrasi tinggal menghitung hari, kepada siapa aspirasi kita pantas untuk dititipkan dengan ketulusan bukan transaksional ? Baliho, spanduk dan media promo lainnya dimana-mana. Dari yang membayar ekslusif di titik-titik strategis, memanfaatkan kendaraan umum, bahkan dengan teganya melukai pepohonan. Sebagian adalah wajah lama, yang masih merasa pantas untuk mewakili rakyat, yang kehadirannya dalam rapat-rapat penting dewan bisa dihitung dengan jari. Sebagian lagi wajah baru, yang memunculkan kesegarannya, tetapi dengan janji-janji standar, sekedar memenuhi kuota atau bahkan mungkin tidak paham apa yang akan diwakilinya.
Akankah alam mengirimkan calon pemimpin alternatif sejati, yang dengan hati bersih mau bekerja untuk bangsa ini ? Yaitu, pemimpin masa depan yang bisa membenahi Indonesia menjadi lebih baik, tanpa pernah silau dengan kedahagaan kelanggengan kekuasaan, harta dan kelimpahan lainnya yang akan mengebiri sisi kebaikan dan ketulusan niatnya.
Mari berdoa dan biarkan semesta mendukung.....
Mari berdoa dan biarkan semesta mendukung.....