Kamis, 05 Juli 2012

Kampung Halaman Sejati.....

Tujuh belas tahun yang lalu, saat pertama kali menginjakan kaki di bumi seribu sungai ini, merupakan pengalaman tak terlupakan. Mencoba beradaptasi dan memahami semua geliat kehidupan, budaya serta segala sesuatu keunikannya, adalah upaya membumi pada tanah yang dipijak, dan menjunjung langit yang menaungi. Budaya dan kebiasaan yang berbeda, tidak membuat kesulitan berarti, karena ada gereget petualang, proses penaklukan pada adaptasi yang menyenangkan. Membina hubungan baik dengan orang-orang baru, mengikatnya dalam silaturahim yang indah, memanjangkan dan memperluas persaudaraan,.

Banyak peristiwa terjadi selama kurun 17 tahun. Pepatah "saudara terdekat adalah tetangga" terbuktikan dengan jelas. Menambah banyak orang tua, kerabat bahkan anak-anak, yang ketulusan serta doanya tidak ubahnya saudara sedarah. Kami menjalani serta menikmatinya dengan bahagia, hingga tidak terasa 17 tahun sudah terlewatkan.

Suatu hari, terlontar dari mulut anak-anak, yang mengharapkan orang tuanya menghabiskan masa tua di kota ini, tempat mereka dibesarkan. Dengan bangga mengatakan pada semua orang, Banjarmasin adalah kampung halamannya, serta tanpa ragu mereka menyebut sebagai "bubuhan urang banjar". Kami hanya bisa tersenyum simpul, memahami serta menyerap makna dari semua ini. Harapan dan kebanggaan anak-anak, bukan untuk meniadakan darimana ayah-ibunya berasal, tapi lebih karena proses adaptasi kami berhasil, dilakukan dengan gembira. Keluarga kami menjadi sangat kaya sejarah, sangat indonesia sekali dalam silsilahnya.

Anak-anak dari kecil senang serta berbinar kalau mendengar sejarah orang tuanya, mengakui, bangga, tapi dengan mantap mengatakan, kami "urang banjar". Mengurai sejarah dan silsilah, pada darah saya, mengalir dengan kuat jawa-mandailing dari ayah, sunda-palembang dari ibu. Dan karena saya dibesarkan di lingkungan ibu yang sangat sunda, maka Sunda lah yang selama ini mendominasi. Bahkan saya lancar berbahasa jawa, setelah saya berkumpul dengan teman-teman satu kost, asal jawa tengah pada masa kuliah. Hal itu ternyata cukup menggembirakan bagi keluarga Ayah, karena akhirnya saya tidak hanya pasif, tapi bisa aktif berinteraksi dalam bahasa jawa, tempat dimana keluarga ayah berasal. Sementara Mandailing dan Palembang, hanya silsilah keluarga besar, hal-hal detailnya, betul-betul terlewatkan, saat kakek & nenek dari Ayah-Ibu memutuskan untuk beradaptasi dengan "kampung halaman keduanya, yang mengantarkan beliau sampai akhir masa pelayaran kehidupannya. Di masing-masing kampung halaman keduanya, rumah masa depan bernisan menuliskan nama-nama beliau.

Sementara suami, walaupun dominan berdarah jawa, tapi pujakesuma, putera jawa kelahiran sumatera, dimana asimilasi budaya jawa-sumatera sangat dominan. Pada perjalanan kehidupannya, Kota Bandung menjadi tempat pelabuhan terakhir untuk Ibu mertua, sebagai Kampung Halaman kedua beliau. Tempat menghabiskan masa tuanya, dengan tetap mengenang kuat sebuah tempat benama Sawit Seberang, di Langkat, Sumatera Utara, tempat beliau lahir. Di Sawit itu beliau terikat secara emosional, menghabiskan separuh perjalanan hidupnya dan tempat rumah masa depan suami beliau, ayah mertua kami. Kesembilan anak-anaknya pun berpencar, menempati kampung halaman keduanya, bersinggah-singgah di setiap terminal kehidupannya, entah dimana masing-masing akan menghabiskan titik akhirnya.

Bicara kampung halaman, selain tempat lahir dan masa kecil, lamanya kita tinggal cukup mempengaruhi. Kalau dihitung ternyata saya, tinggal dan besar di kuningan, jabar (10 thn), Cirebon (8 tahun), Bandung (7 tahun) dan Banjarmasin (17thn) sampai dengan hari ini.
Menuliskan angka-angka ini, bukan untuk menghapus kenangan asal dan masa kecil, tetapi dayung kehidupan saya, ternyata mengalir sampai disini.
Apakah ini menjadi akhir pelabuhan ?? Tempat rumah masa depan, saat menghadap sang khalik?? Hanya Allah yang tahu dan menentukan, kemana dayung ini kembali akan dikayuh, atau disimpan di pelabuhan terakhir di sini.

Saat telah menjadi orang tua, ketika bermimpi, merencanakan dan membangun masa depan, penghargaan atas harapan anak-anak, kebahagiaannya menjadi bagian penting dalam pertimbangan. Perahu akan didayung pada jalur mimpi dan rencana itu, tetapi saat Tuhan berkehendak lain, maka itulah yang terbaik di akhirnya. Belajar pada kehidupan, setiap orang memiliki mimpi, rencana dan jalur hidupnya masing-masing, tetapi jauh di lubuk hatinya, selalu mendambakan "tempat pulang" bernama "kampung halaman".
Ternyata "kampung halaman" yang dirindukan adalah yang secara real memberikan torehan-torehan mendalam yang berkesan. Bukan yang sesaat atau hanya diperkenalkan karena sejarah leluhur.
Tentunya tanah silsilah tetap berkontribusi akan kerinduan itu, tetapi prosentase-nya tidak sebesar tempat-tempat dimana kita mempunyai tabungan emosi terhadapnya. Ada teman, sahabat, kisah-kisah indah bahkan mungkin duka yang menemani sepanjang perjalanan seseorang.

Kampung halaman yang selalu saya rindukan adalah Kuningan, Cirebon dan sekarang Banjarmasin. Pada ketiga kota itu, sejarah kehidupan diukir. Bahkan saat mengenangnya, masih tergambar jelas, bagaimana pematang sawah, "balong" dan pohon depan sekolah di sebuah desa, bernama Ciawigebang di Kuningan sana. Hal yang sama saat mengenang Cirebon, ada kerinduan yang tidak pernah padam, sebagaimana kerinduan akan Banjarmasin, jika terlalu lama meninggalkannya. Banyak hal yang mengikat di sini.

Tetapi bagi anak-anak saya, Kuningan, Cirebon, Sawit Seberang, Medan adalah nama kota yang mereka ingat, hanya bagian dari sejarah silsilah hidup mereka, tepatnya sejarah orang tuanya. Tidak terlalu banyak tabungan emosi, peristiwa yang mengendap dalam hidupnya. Mungkin ada keinginan berkunjung untuk memanjangkan & menyambung silaturahim dengan keluarga orang tuanya. Tapi untuk kerinduan dan tempat pulang, mereka merindukan Banjarmasin, dengan sejuta kenangan, sahabat dan saudara-saudara barunya. Itulah fakta dan sunatullahnya.

Mimpi, cita-cita, rencana dan proses mencapainya, kadang berkonsekuensi pada jarak yang memisahkan. Tetapi jika niat kita kuat untuk tetap menjalin silaturahim, dengan keluarga apalagi orang tua, Tuhan akan memudahkan, semesta akan mendukung. Pada niat baik yang kuat, Allah selalu memberi jalan dan kemudahan untuk tetap bersilaturahim, melepas rindu pada "kampung halaman sejati", yaitu di hati dan pelukan ayah-ibu, dimana pun beliau berada. Sementara pada kampung halaman lain secara fisik, tetap bisa tersambungkan, untuk melepas kerinduan, bernostalgis, menengok kisah-kisah serta mimpi masa lalu.

Kepada anak-anak selalu disampaikan, untuk menabung "kenangan", "kasih sayang", serta indahnya kebersamaan bersama keluarga, letakan di hati terdalam, dalam ketulusan cinta satu sama lain. Maka, "kampung halaman" yang hakiki, akan ada di hati, bersama keluarga terdekat, dimana pun "dayung kehidupan" melabuhkan "kapal kehidupan" kita, baik sementara maupun pada masa akhirnya. Pada ketulusan orang tua inilah, kelak anak-anak akan melabuhkan kerinduan akan "Kampung Halaman" sejati. Pada pelukannya atau bahkan ketika mengusap nisan dengan tulisan nama, dengan hantaran doa-doa terbaik.

Jauh di lubuk hati, ada doa dan harapan dipanjatkan, pada rumah masa depan, dimana nisan akan dituliskan nama, berharap menjadi titik pencapaian untuk berangkat menuju tempat terbaik di sisiNya, dimana pun tempat itu nantinya. Dan berharap di titik itulah kerinduan anak-anakku akan memanggil, duduk bersimpuh menghantarkan doa tulus dan terbaik untuk memperindah rumah masa depanku.

Aamiin Ya Rabbal Alamin. Kabulkanlah Ya Allah....

Banjarmasin, 5 juli 2012

15 Sya'ban 1433

Jumat, 04 Mei 2012

Jangan Berikan Aku Alasan Untuk Berpaling........

"Kenapa harus dipasung ??"

"Karena kami sayang "

"Sayang kok dipasung ?"

"Karena kebebasan akan menyakitinya, menyakiti orang lain, yang kemungkinan lebih menyakitinya"

"Tapi kan kasihan..."

"Agar kami tetap bisa merawatnya"

"Cobalah dibebaskan, kasihan kakinya..."

"Bagaimana kalau dia menghilang, bagaimana kalau dia diperkosa orang di jalan, bagaimana kalau dia menyakiti dan malah disakiti lebih keras lagi, siapa yang akan peduli ???"

"Duh....."

"Bagi orang lain, dia adalah sampah. Bagiku dia tetap karunia, selagi Allah masih memberi kekuatan pada kedua tanganku, biarkan ia dirawat dengan caraku"

"Dibawa ke rumah sakit saja yah, pemerintah harus ikut menanggung beban ini"

"Rumah sakit akan menjadikannya angka-angka, mungkin ada obat, tapi tanpa kasih sayang. Biarlah dia bersamaku, merasakan suapan dari tanganku, meski serba kekurangan, tapi banyak kasih sayang"

..............................................................................................................

Dan aku pun tertegun, pada keheningan diantara kami. Sorot mata semua yang ada disitu, menghujam pada ulu hati terdalam. Saat teknis dan teori mati tak berdaya. Udara kering mengalirkan getaran basahnya kepedihan.

Pada punggung tangan tua itu, yang terlihat liat oleh kehidupan. Mengais rupiah demi rupiah di tegalan, demi suapan kehidupan untuk banyak tanggungjawab di rumah. Terlihat begitu dalam, kepasrahan pada kehidupan dan Sang Maha Agung.

Tidak akan Allah menjadikan, tanpa arti .....

Maka dijalaninya hidup dengan tertib....

Bahkan jika tiba-tiba, diri kehilangan juga apa yang menjadi pijakan, hanya sesaat.

Saat Allah mengembalikan diri, maka tanggungjawab itu kembali menggerakan tubuh rentanya.

"Bu.....kuttitipkan, yang terbaik yang kami punya. Rawatlah, dan jangan sia-siakan dia. Kami pasrahkan semua pada ibu"

Air mata mengalir perlahan, menyeruak di keheningan yang semakin membasahkan kasih sayang.

"Saat semua menistakan kami, Allah memberikan tangan kasih sayangnya lewat Ibu. Yang terbaik kami serahkan, biarlah kami melanjutkan hidup, memasrahkan pada garis diri yang telah ditentukan, bersama mereka"

Air mata semakin deras, disertai kegempaan hati yang semakin membuncah. Aku pun tertunduk, dan memberikan janji dengan sorot mata dan pelukan. kata-kata seakan lenyap tak bersisa.

...............................................................................................................

Ya Allah, Ya Karim...

Atas kehendakmu semua ini ada dan terjadi

Tidak pernah ada yang sia-sia pada semua penciptaan dan rencanaMu

Dan pada ketentuanMu, hamba belajar atas hikmah

Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim....

Jangan berikan aku alasan, untuk memalingkan hati dari mereka

Kecuali telah kau tunjuk tangan lain untuk menggantikanku

Tutupkan mata dan hatiku, atas hitungan tak berarti

Datarkan hatiku atas cemooh dan keburukan kata-kata di luar

Luaskan samudera hatiku pada kelimpahan kasih sayangMu

Yang senantia mengalir tanpa henti

Melimpah tanpa hitungan

SesungguhNya, hanya pada kekuatanMu hamba berlindung

Hanya pada ketentuanMu, hamba berserah

Amin Ya Rabbal Alamin...

Banjarmasin, 04 Mei 2012



Pada denting gitar, sayup-sayup REM mengiringi...

"Everybody hurts

Take comfort in your friends.

Everybody hurts

Don't throw your hand. Oh, no

Don't throw your hand

If you feel like you're alone, no, no, no, you are not alone"

Kamis, 03 Mei 2012

"Diam" yang "keemasan"........

Diam dan hening dalam sebuah peribahasa adalah 'emas'. Mungkin ya, jika itu untuk memberi ruang bantuan "alamiah" yang akan menyusup ditengah yang terjadi. Semesta, mempunyai porsinya sendiri, untuk membantu menyelesaikan apa yang sedang terjadi, disadari atau tidak. Waktu serta "diam", menjadi sarana untuk semesta menggetarkan frekuensinya pada yang terjadi, ketika langkah dan akal kita sudah pada titik sulit untuk memahaminya. Kuncinya adalah "waktu", yang menjadi parameter pengurai, apakah yang terjadi adalah hal yang membutuhkan energi besar untuk diselesaikan, atau mungkin itu hanya sebuah dinamika, yang mengiringi setiap langkah kita. Menjadi stimulus untuk kita bisa memutuskan dan melakukan dengan bijak, atas pemahaman kita sendiri pada yang terjadi.

Maka....Diam adalah "emas", mendapatkan porsinya yang pas

Tetapi pada sisi lain, "Diam" adalah bencana, saat itu merupakan "warning" terhadap kepekaan kita yang telah termandulkan. Jika pada setiap tahapan dalam hidup, kita selalu "diam", pasrah, dan pasif tanpa inisiatif, maka bisa dipastikan, bencana yang dituai tidak hanya akan menimpa kita, tetapi juga semua yang berada di sekeliling kita.

Peran kita menjadi tiada, bahkan terabaikan oleh sikap pasif yang kita berikan, dan memungkinkan akhirnya kita menjadi 'hilang', dari kehidupan kita. Pada kondisi ini, maka tidak ada kearifan yang bisa diambil dari sikap 'diam'.

Maka menentukan 'diam' dan 'responsif' atau bahkan agresif terhadap apa yang terjadi, membutuhkan paramater hati yang paling dalam untuk melakukannya. Tentunya setiap keputusan, akan menuai konsekuensi. Dan konskuensi adalah tanggung jawab yang diambil, atas dedikasi kita pada jalan kehidupan yang kita pilih.

Terngiang sebuah kalimat dari seorang bijak...."Tanggung Jawab itu harus diambil, bahkan pada apa yang "diberikan" pada kita". Dan kesulitan dalam menunaikan tanggungjawab, adalah bagian dari dinamikanya yang tidak perlu dikeluhkan. Dijalani, dicatat dan dianalisa menjadi ukuran untuk koreksi dan kontemplasi. Pada hasil akhirnya, adalah sebagai penentu, masihkah kita layak mengemban "tanggungjawab" tersebut ??

Jika tanggungjawab itu melekat pada kehidupan kita, maka menjadi mustahil untuk mengembalikannya, terus menjalaninya dan mungkin memasuki pada tahap "diam" dan memberi ruang pada "semesta" untuk mendukung adalah jalan keluarnya...dan biarkan semua mengalir pada jalannya.

Tetapi jika tanggungjawab itu adalah pemberian atau sesuatu yang kita cari, maka menjadi bijak kita memikirkan untuk mengembalikannya, dengan sikap yang ksatria mengakui akan ketidakmampuan meneruskan apa yang kita pikul. Parameter ukurannya harus jelas, optimal dalam ikhtiar, terukur dalam hasil, dan menemukan titik lemah yang memang tidak bisa terkoreksi dalam perjalanan ke depan, dalam kemampuan yang kita punya.

Hanya saja, kadang ukuran optimal suatu ikhtiar pun, kita tidak mampu memberikannya. bahkan titik lemah pun kadang bisa menjadi alsan kita untuk menghindar.

Lalu kapankah kita bisa mengatakan selesai atas tanggung jawab...??? Lalu kapankah kita bisa membiarkan ruang "diam" mengambil perannya ?? Bahkan kita kadang tidak membutuhkan jawabannya, karena hati yang akan bicara.

Jika hati sudah selalu gelisah, senyum tidak terkembang dengan ikhlas, maka saatnya kita katakan, SELESAI......

Banjarmasin, 03 Mei 2012

"Responsibility is Taking....."

Sabtu, 28 Januari 2012

Saat Pesta Usai.........

Semua kefanaan pasti akan usai, itu sunatullahnya. Keindahan, kebahagiaan, bahkan kesedihan, pada saatnya akan berakhir. Tetapi rasa memiliki yang berlebihan pada kehidupan ini, kadang membuat kita sulit untuk melepaskan keterikatan pada apapun yang terjadi pada diri kita.

Saat harus berakhir, rasa tak rela untuk melepaskan, air mata pun menjadi pengiringnya. Bahkan ketika kita menyadari sebuah jalan terbaik untuk mengakhiri kesedihan, keburukan, luka dan tersakiti yang berkepanjangan. Begitu beratnya melepaskan kelekatan pada semua yang telah terjadi.

Diperlukan istiqomah dan kedalaman hati untuk bisa berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain. Biarlah airmata menjadi teman, asalkan membuat kelonggaran pada ruang-ruang hati untuk bisa menghirup makna kebaikan dari setiap konsekuensi atas keputusan terbaik. Air mata kadang menjadi obat yang bisa menghapuskan kegundahan akan sebuah kehilangan. Dan ibarat obat, meskipun menyakitkan, tetapi menyembuhkan.

Pada sebuah keputusan terbaik dalam kehidupan, ketulusan, ketabahan menjadi kuncinya, dan biarkan Allah menuntun pada titik akhirnya. Kekuatan kepasrahan, merupakan energi terbesar yang akan membawa kita pada keindahan rahasia Allah atas takdir kita.

Maka, sesulit apapun, untuk sebuah titik terang jalan kebaikan, bertahanlah. Menangislah, jika itu membuat kita lebih baik, tapi tidak mengeluh atau menyalahkan takdir dan ketentuannya. Karena sesungguhnya apapun yang akhirnya kita jalani, itu adalah keputusan yang kita ambil, dan takdir Allah hanya payung selama masa kehidupan kita. Dan penentu jalannya, adalah kita.....baik atau buruk, beserta semua konsekuensinya.


Jakarta, 28 januari 2012....
....Pada kelengangan kota, hari & hati......pada diam yang meresapkan makna & kekuatan......