Diam dan hening dalam sebuah peribahasa adalah 'emas'.
Mungkin ya, jika itu untuk memberi ruang bantuan "alamiah" yang akan menyusup ditengah yang terjadi. Semesta, mempunyai porsinya sendiri, untuk membantu menyelesaikan apa yang sedang terjadi, disadari atau tidak.
Waktu serta "diam", menjadi sarana untuk semesta menggetarkan frekuensinya pada yang terjadi, ketika langkah dan akal kita sudah pada titik sulit untuk memahaminya.
Kuncinya adalah "waktu", yang menjadi parameter pengurai, apakah yang terjadi adalah hal yang membutuhkan energi besar untuk diselesaikan, atau mungkin itu hanya sebuah dinamika, yang mengiringi setiap langkah kita. Menjadi stimulus untuk kita bisa memutuskan dan melakukan dengan bijak, atas pemahaman kita sendiri pada yang terjadi.
Maka....Diam adalah "emas", mendapatkan porsinya yang pas
Tetapi pada sisi lain, "Diam" adalah bencana, saat itu merupakan "warning" terhadap kepekaan kita yang telah termandulkan. Jika pada setiap tahapan dalam hidup, kita selalu "diam", pasrah, dan pasif tanpa inisiatif, maka bisa dipastikan, bencana yang dituai tidak hanya akan menimpa kita, tetapi juga semua yang berada di sekeliling kita.
Peran kita menjadi tiada, bahkan terabaikan oleh sikap pasif yang kita berikan, dan memungkinkan akhirnya kita menjadi 'hilang', dari kehidupan kita. Pada kondisi ini, maka tidak ada kearifan yang bisa diambil dari sikap 'diam'.
Maka menentukan 'diam' dan 'responsif' atau bahkan agresif terhadap apa yang terjadi, membutuhkan paramater hati yang paling dalam untuk melakukannya. Tentunya setiap keputusan, akan menuai konsekuensi. Dan konskuensi adalah tanggung jawab yang diambil, atas dedikasi kita pada jalan kehidupan yang kita pilih.
Terngiang sebuah kalimat dari seorang bijak...."Tanggung Jawab itu harus diambil, bahkan pada apa yang "diberikan" pada kita". Dan kesulitan dalam menunaikan tanggungjawab, adalah bagian dari dinamikanya yang tidak perlu dikeluhkan. Dijalani, dicatat dan dianalisa menjadi ukuran untuk koreksi dan kontemplasi. Pada hasil akhirnya, adalah sebagai penentu, masihkah kita layak mengemban "tanggungjawab" tersebut ??
Jika tanggungjawab itu melekat pada kehidupan kita, maka menjadi mustahil untuk mengembalikannya, terus menjalaninya dan mungkin memasuki pada tahap "diam" dan memberi ruang pada "semesta" untuk mendukung adalah jalan keluarnya...dan biarkan semua mengalir pada jalannya.
Tetapi jika tanggungjawab itu adalah pemberian atau sesuatu yang kita cari, maka menjadi bijak kita memikirkan untuk mengembalikannya, dengan sikap yang ksatria mengakui akan ketidakmampuan meneruskan apa yang kita pikul. Parameter ukurannya harus jelas, optimal dalam ikhtiar, terukur dalam hasil, dan menemukan titik lemah yang memang tidak bisa terkoreksi dalam perjalanan ke depan, dalam kemampuan yang kita punya.
Hanya saja, kadang ukuran optimal suatu ikhtiar pun, kita tidak mampu memberikannya. bahkan titik lemah pun kadang bisa menjadi alsan kita untuk menghindar.
Lalu kapankah kita bisa mengatakan selesai atas tanggung jawab...???
Lalu kapankah kita bisa membiarkan ruang "diam" mengambil perannya ??
Bahkan kita kadang tidak membutuhkan jawabannya, karena hati yang akan bicara.
Jika hati sudah selalu gelisah, senyum tidak terkembang dengan ikhlas, maka saatnya kita katakan, SELESAI......
Banjarmasin, 03 Mei 2012
"Responsibility is Taking....."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar