Jumat, 04 Mei 2012

Jangan Berikan Aku Alasan Untuk Berpaling........

"Kenapa harus dipasung ??"

"Karena kami sayang "

"Sayang kok dipasung ?"

"Karena kebebasan akan menyakitinya, menyakiti orang lain, yang kemungkinan lebih menyakitinya"

"Tapi kan kasihan..."

"Agar kami tetap bisa merawatnya"

"Cobalah dibebaskan, kasihan kakinya..."

"Bagaimana kalau dia menghilang, bagaimana kalau dia diperkosa orang di jalan, bagaimana kalau dia menyakiti dan malah disakiti lebih keras lagi, siapa yang akan peduli ???"

"Duh....."

"Bagi orang lain, dia adalah sampah. Bagiku dia tetap karunia, selagi Allah masih memberi kekuatan pada kedua tanganku, biarkan ia dirawat dengan caraku"

"Dibawa ke rumah sakit saja yah, pemerintah harus ikut menanggung beban ini"

"Rumah sakit akan menjadikannya angka-angka, mungkin ada obat, tapi tanpa kasih sayang. Biarlah dia bersamaku, merasakan suapan dari tanganku, meski serba kekurangan, tapi banyak kasih sayang"

..............................................................................................................

Dan aku pun tertegun, pada keheningan diantara kami. Sorot mata semua yang ada disitu, menghujam pada ulu hati terdalam. Saat teknis dan teori mati tak berdaya. Udara kering mengalirkan getaran basahnya kepedihan.

Pada punggung tangan tua itu, yang terlihat liat oleh kehidupan. Mengais rupiah demi rupiah di tegalan, demi suapan kehidupan untuk banyak tanggungjawab di rumah. Terlihat begitu dalam, kepasrahan pada kehidupan dan Sang Maha Agung.

Tidak akan Allah menjadikan, tanpa arti .....

Maka dijalaninya hidup dengan tertib....

Bahkan jika tiba-tiba, diri kehilangan juga apa yang menjadi pijakan, hanya sesaat.

Saat Allah mengembalikan diri, maka tanggungjawab itu kembali menggerakan tubuh rentanya.

"Bu.....kuttitipkan, yang terbaik yang kami punya. Rawatlah, dan jangan sia-siakan dia. Kami pasrahkan semua pada ibu"

Air mata mengalir perlahan, menyeruak di keheningan yang semakin membasahkan kasih sayang.

"Saat semua menistakan kami, Allah memberikan tangan kasih sayangnya lewat Ibu. Yang terbaik kami serahkan, biarlah kami melanjutkan hidup, memasrahkan pada garis diri yang telah ditentukan, bersama mereka"

Air mata semakin deras, disertai kegempaan hati yang semakin membuncah. Aku pun tertunduk, dan memberikan janji dengan sorot mata dan pelukan. kata-kata seakan lenyap tak bersisa.

...............................................................................................................

Ya Allah, Ya Karim...

Atas kehendakmu semua ini ada dan terjadi

Tidak pernah ada yang sia-sia pada semua penciptaan dan rencanaMu

Dan pada ketentuanMu, hamba belajar atas hikmah

Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim....

Jangan berikan aku alasan, untuk memalingkan hati dari mereka

Kecuali telah kau tunjuk tangan lain untuk menggantikanku

Tutupkan mata dan hatiku, atas hitungan tak berarti

Datarkan hatiku atas cemooh dan keburukan kata-kata di luar

Luaskan samudera hatiku pada kelimpahan kasih sayangMu

Yang senantia mengalir tanpa henti

Melimpah tanpa hitungan

SesungguhNya, hanya pada kekuatanMu hamba berlindung

Hanya pada ketentuanMu, hamba berserah

Amin Ya Rabbal Alamin...

Banjarmasin, 04 Mei 2012



Pada denting gitar, sayup-sayup REM mengiringi...

"Everybody hurts

Take comfort in your friends.

Everybody hurts

Don't throw your hand. Oh, no

Don't throw your hand

If you feel like you're alone, no, no, no, you are not alone"

Kamis, 03 Mei 2012

"Diam" yang "keemasan"........

Diam dan hening dalam sebuah peribahasa adalah 'emas'. Mungkin ya, jika itu untuk memberi ruang bantuan "alamiah" yang akan menyusup ditengah yang terjadi. Semesta, mempunyai porsinya sendiri, untuk membantu menyelesaikan apa yang sedang terjadi, disadari atau tidak. Waktu serta "diam", menjadi sarana untuk semesta menggetarkan frekuensinya pada yang terjadi, ketika langkah dan akal kita sudah pada titik sulit untuk memahaminya. Kuncinya adalah "waktu", yang menjadi parameter pengurai, apakah yang terjadi adalah hal yang membutuhkan energi besar untuk diselesaikan, atau mungkin itu hanya sebuah dinamika, yang mengiringi setiap langkah kita. Menjadi stimulus untuk kita bisa memutuskan dan melakukan dengan bijak, atas pemahaman kita sendiri pada yang terjadi.

Maka....Diam adalah "emas", mendapatkan porsinya yang pas

Tetapi pada sisi lain, "Diam" adalah bencana, saat itu merupakan "warning" terhadap kepekaan kita yang telah termandulkan. Jika pada setiap tahapan dalam hidup, kita selalu "diam", pasrah, dan pasif tanpa inisiatif, maka bisa dipastikan, bencana yang dituai tidak hanya akan menimpa kita, tetapi juga semua yang berada di sekeliling kita.

Peran kita menjadi tiada, bahkan terabaikan oleh sikap pasif yang kita berikan, dan memungkinkan akhirnya kita menjadi 'hilang', dari kehidupan kita. Pada kondisi ini, maka tidak ada kearifan yang bisa diambil dari sikap 'diam'.

Maka menentukan 'diam' dan 'responsif' atau bahkan agresif terhadap apa yang terjadi, membutuhkan paramater hati yang paling dalam untuk melakukannya. Tentunya setiap keputusan, akan menuai konsekuensi. Dan konskuensi adalah tanggung jawab yang diambil, atas dedikasi kita pada jalan kehidupan yang kita pilih.

Terngiang sebuah kalimat dari seorang bijak...."Tanggung Jawab itu harus diambil, bahkan pada apa yang "diberikan" pada kita". Dan kesulitan dalam menunaikan tanggungjawab, adalah bagian dari dinamikanya yang tidak perlu dikeluhkan. Dijalani, dicatat dan dianalisa menjadi ukuran untuk koreksi dan kontemplasi. Pada hasil akhirnya, adalah sebagai penentu, masihkah kita layak mengemban "tanggungjawab" tersebut ??

Jika tanggungjawab itu melekat pada kehidupan kita, maka menjadi mustahil untuk mengembalikannya, terus menjalaninya dan mungkin memasuki pada tahap "diam" dan memberi ruang pada "semesta" untuk mendukung adalah jalan keluarnya...dan biarkan semua mengalir pada jalannya.

Tetapi jika tanggungjawab itu adalah pemberian atau sesuatu yang kita cari, maka menjadi bijak kita memikirkan untuk mengembalikannya, dengan sikap yang ksatria mengakui akan ketidakmampuan meneruskan apa yang kita pikul. Parameter ukurannya harus jelas, optimal dalam ikhtiar, terukur dalam hasil, dan menemukan titik lemah yang memang tidak bisa terkoreksi dalam perjalanan ke depan, dalam kemampuan yang kita punya.

Hanya saja, kadang ukuran optimal suatu ikhtiar pun, kita tidak mampu memberikannya. bahkan titik lemah pun kadang bisa menjadi alsan kita untuk menghindar.

Lalu kapankah kita bisa mengatakan selesai atas tanggung jawab...??? Lalu kapankah kita bisa membiarkan ruang "diam" mengambil perannya ?? Bahkan kita kadang tidak membutuhkan jawabannya, karena hati yang akan bicara.

Jika hati sudah selalu gelisah, senyum tidak terkembang dengan ikhlas, maka saatnya kita katakan, SELESAI......

Banjarmasin, 03 Mei 2012

"Responsibility is Taking....."