Rabu, 18 November 2009

Need Breakthrough.......

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman lama, teman sepenanggungan saat di tanah suci, ketika 2 tahun lalu Allah mengijinkan kami untuk melakukan ibadah Haji. Dia adalah anggota team medis di kloter kami, seorang dokter muda dan perempuan. Jadilah kami bernostalgia.

Saat itu saya dan suami memilih untuk menggunakan paket “Departement Agama Murni”, tanpa KBIH, tanpa embel-embel apapun. Ada banyak alasan dibalik semuanya, disamping memang dananya lebih pas untuk paket ini, kami pun ingin bersama kebanyakan jamaah haji asal Indonesia yang memang hanya bisa ikut paket ini.

Yang dimaksud dengan paket “Departemen Agama Murni”, adalah paket dimana kita hanya membayar ONH sesuai ketentuan, mendapatkan manasik standar, dll. Dan diskriminasi memang sudah dirasakan sejak awal daftar ulang, dimana ternyata link-link KBIH sudah menguasai berbagai hal. Jika kita mengikuti KBIH, artinya kita harus mengeluarkan ongkos lebih untuk membayar guru pembimbing, dan menjadi jamaah guru / ustad tersebut. Dan tawaran untuk mengikuti KBIH jelas tidak buruk, tetapi membuat jamaah menjadi seperti berkelas-kelas, demikian juga dengan pelayanan yang diberikan oleh departemen agama dan yang terkait, sudah mulai berkelas.
Dimana kolektivitas KBIH akan lebih mudah mendapat akses, dibanding jamaah biasa. Kondisi ini seakan betul-betul menyiratkan, ada harga ada fasilitas. Sudah benarkah ini ? jika dilihat sepintas, akan kita katakana wajar, tetapi, bagaimana dengan nasib jamaah lainnya ??!!

Jadi bisa dibayangkan, di dalam daftar jamaah haji Indonesia ini ada berbagai kelas, yaitu :
1. Jamaah Haji Biasa
2. Jamaah Haji dengan KBIH
3. Jamaah haji Plus / ONH Plus

Dengan komposisi seperti di atas, prosentasi terbesar adalah Jamaah Haji biasa, yang mendapat layanan diskriminasi. Saya mencoba mengikuti alur dan perjalanannya, dicatat dalam hati dan mencoba untuk mengikhlaskan. Tetapi ada yang harus diperbaiki, dan mungkin ini bukan satu-satunya masukan, karena kalau bicara masalah jamaah haji, masalahnya menjadi seperti bola salju.

Ikutan dari klasifikasi ini, ternyata berlanjut pada pelayanan terkait, diantaranya adalah pelayanan administrasi, kesehatan, dan koordinasi saat di tanah suci. Kami mendapat pimpinan kloter yang konon sudah berpengalaman ke tanah suci. Tetapi ternyata, mempunyai leadership yang sangat rendah, dan memandang jamaah sudah mempunyai pimpinan rombongan dalam KBIH nya, karena dalam satu kloter kami ada beberapa kelompok KBIH. Sehingga jamaah haji biasa, tercecer tak terkoordinasi dengan baik.

Dampak buruk lainnya yang kami saksikan adalah munculnya egoisme jamaah di sana, juga pimpinan rombongan KBIH yang katanya sudah berkali-kali berangkat haji. Jika dalam pelaksanaan ritual ibadah haji, tiba-tiba ada jamaah biasa yang mengikuti di belakangnya, maka dengan lugas, anggota rombongan akan mengatakan…’eh, kamu bukan rombongan kami’, dengan kata lain, karena kamu tidak membayar lebih, maka kamu tidak boleh mendapat lebih….padahal mungkin itu orang yang sudah sepuh, padahal mungkin itu jamaah yang datang dari kampung yang begitu ketakutan jika sendirian….sungguh menyedihkan. Dan ini tidak diperhatikan oleh ketua kloternya….
Ketua kloter, hanya berada di singgasana ruangannya dan hanya menunggu kedatangan jamaah yang mengeluh, tidak berupaya untuk mengontrol dan mengkoordinasi jamaah. Jelas ini karena rendahnya leadership yang dipunyai oleh seorang pimpinan.
Jadilah kejadian jamaah haji tersesat, jamaah haji salah dalam melakukan tata cara ibadah menjadi pemandangan yang mengenaskan. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan hal ini, dan hanya bisa berupaya membantu apa yang kami bisa.

Secara ruhiyah sebagian orang mengaitkan berbagai kejadian pada jamaah haji ini dengan kesabaran, dan take & give perilaku seseorang di tanah air. Tetapi dalam pandangan manajerial pelaksanaan haji, jelas ini sesuatu yang harus dikritisi.
Saya mencoba mencari tahu kloter lain, dari daerah lain sebagai pembanding, ternyata kurang lebih saja kejadiannya. Hanya ada beberapa pimpinan kloter yang memang secara alamiah mempunyai leadership dan tanggung jawab amanah yang tinggi, selebihnya mereka hanyalah pejabat Departemen Agama yang mendapat giliran saja, berbekal hasil test atau mungkin rekomendasi. Bukan penilaian leadershipnya.

Awalnya saya ingin menjalani ibadah haji dengan menanggalkan berbagai aktivitas di tanah air. Tetapi ternyata banyak hal yang menggelitik yang tidak bisa diabaikan. Jadilah berbekal kartu pers yang saya punya, saya mencoba membantu jamaah haji lain yang kesulitan, terutama yang sudah sepuh. Ternyata ini ampuh. Mengetahui bahwa dalam kloternya ada orang media, maka sang pimpinan kloter pun akhirnya sedikit banyak merubah perilakunya, dan mulai memperhatikan amanahnya….ampuh rupanya kartu pers ini !!!!
Live report yang saya lakukan ke tanah air, sedikit banyak membuat mereka khawatir, ke-lenaanya diketahui, dan mulailah menunjukkan yang seharusnya, entah ikhlas entah tidak. Bagai kami itu tidak penting, biar Allah yang menilai, yang penting dia harus menjalankan amanahnya, seoptimal yang dia mampu.

Keprihatinan berlanjut ketika saya harus sering berhubungan dengan team medis yang mendampingi kloter kami. 3 orang pendamping medis yang terdiri dari satu orang dokter muda dan 2 perawat menjadi sangat tidak layak untuk jamaah dalam satu kloter. Seperti halnya pimpinan kloter dan wakilnya, saya tidak terlalu paham bagaimana team medis ini dipilih. Tetapi bisa diduga, mereka pun dipilih berdasarkan test dan giliran, tanpa mengedepankan masalah leadership.

Bisa anda bayangkan, team medis ini setiap periodik harus mengirimkan laporannya ke sektor yang jaraknya tidak dekat, dengan dijanjikan jemputan atau mobil yang tidak kunjung datang, maka yang terjadi, dia harus melakukannya sendiri dengan ongkos yang tidak sedikit dan kekhawatiran yang luar biasa, karena kebetulan team mediknya ini dipimpin oleh seorang dokter muda perempuan. Dengan keterbatasan penguasaan bahasa inggris apalagi Arab, maka ketika harus merujuk jamaah ke rumah sakit, yang terjadi adalah kehebohan komunikasi yang tidak nyambung. Apalagi team medis yang diturunkan adalah yang juga tidak mengenal Makkah dan Madinah sebelumnya. Jadi ketika terjadi team medis kami tersesat, itu adalah fakta yang menyedihkan, karena kami akhirnya menunggu dengan harap-harap cemas.

Apalagi jika kita melihat fasilitas kesehatan yang disiapkan untuk jamaah, betul-betul tidak memadai. Ketika dirawat di gedung dimana kita tinggal sudah tidak memungkinkan, maka pasien akan dirujuk ke sektor, dimana sangat tidak representatif untuk perawatan.
Jika harus di rawat di sektor, dengan keterbatasan team medis yang ada, maka yang terjadi adalah keprihatinan yang amat sangat. Dalam kacamata awam, semua seakan dibiarkan menunggu mukjizat dengan pengobatan seadanya. Kami menemukan pasien-pasien berjejer layaknya di bangsal darurat, dalam pakaian ihrom dan terbuka auratnya karena tidak bisa mengontrol diri dan tidak ada lagi tenaga yang bisa membantu untuk merawat. Persis seperti bangsal darurat untuk penanganan musibah.
Jika harus di rujuk ke rumah sakit di sana, dimana tidak boleh ditunggu, maka yang terjadi, kami seperti mengantarkan pasien ke pengasingan. Asing dari bahasa, asing dari komunikasi, dan yang selalu terjadi maka pasien akan semakin parah, bahkan berujung meninggal dunia.

Hanya istighfar yang bisa kita lakukan, tetapi ini harus dievaluasi, bukan hanya diterima dan dikorelasikan dengan ‘take & give ‘ seseorang terhadap apa yang telah dilakukannya.

Secara kemanusiaan, upaya yang dilakukan pemerintah memang belum maksimal. Jumlah jamaah yang begitu banyak, tidak diperhitungkan dengan konsekuensi yang harus disiapkan, seperti tenaga dan fasilitas medik.
Sebagai pembanding, fasilitas kesehatan untuk sebuah musibah itu bersifat tentatif, maka jamaah haji ini bersifat tetap. Mengapa fasilitas kesehatan yang disiapkan selalu seperti darurat. Kebanyakan pasien yang sakit, adalah memang yang secara fisik dan usia sudah bisa diprediksi pasti akan membutuhkan fasilitas kesehatan itu. Karena diluar kategori itu, memang tidak banyak. Semestinya ini sudah bisa dikorelasikan dengan layanan yang harus disiapkan.

Hal lain, tentunya adalah ketika menentukan pimpinan, baik itu kloter maupun team medik, aspek pengalaman dan leadership jauh lebih penting dari sekedar giliran agar bisa menunauikan ibadah haji. Karena mereka yang tidak punya pengalaman, cenderung akan mengejar kepentingan pribadi, walaupun itu atas nama ibadah. Sementara tugas utamanya dikirim adalah mamang untuk melayani….wallahu alam bi sawab…

Setiap orang sering mematahkan keinginan untuk memberi masukan dengan argumen bahwa inilah ‘masalah haji’ yang bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Tetapi, didengar ataupun tidak, menyempurnakan atau menjadi angin lalu, tulisan ini ingin mengurai fakta yang saya rasakan, dari beribu fakta yang yang mungkin juga dialami teman-teman yang lain. Mudah-mudahan anda yang mempunyai akses untuk merubah, bisa memberikan dorongan untuk memberikan perubahan itu…….

Banjarmasin,10 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar