Kamis, 19 November 2009

Wadon…Indon…Sebuah Distorsi yang Harus Diluruskan…

"Ooooh ... Wadon cirebon dong ??!!"
Sebuah kalimat biasa, yang diharapkan berarti biasa juga, apalagi jika dikaitkan dengan pengertian harfiah tata bahasanya. Tetapi jika kalimat tadi diucapkan oleh seseorang, dengan seringai senyum penuh arti yang berkonotasi melecehkan', maka tidak terhindarkan lagi, reaksinya adalah "ketersinggungan' yang amat sangat....

Itulah yang terjadi padaku. Jika tidak menjunjung tinggi etika, saat itu juga rasanya ingin memuntabkan kemarahan, dan membalas dengan kalimat-kalimat keji bernada menuduh.... Tetapi untungnya akal sehat masih bs mengendalikan ketersinggungan itu. Dan saat reda, baru mencoba memahami, kesalahan tidak pada yang menyampaikan, tetapi pada "pengalaman" yang terekam olehnya.

'Wadon', yang berarti perempuan, secara harfiah mempunyai arti luhur, sebagaimana padanannya. Tetapi dalam perkembangannya, mengalami distorsi sedemikian rupa, sehingga jika diucapkan pada konteks tertentu, berarti sangat negatif. Kita tidak bisa menutup mata dan kenyataan, di jalur pantura, di daerah tertentu, budaya 'wadon' sebagai penghibur menjadi fenomenal. Bahkan ada sebuah daerah, dikenal sebagai sentra pemasok 'wadon' untuk tempat-tempat hiburan di ibukota, baik yang terpaksa maupun yang sukarela. Bahkan pada budaya dan habit yang telah menggurita mereka, menjadi 'wadon' adalah cita-cita, khususnya jika itu berarti menjadi 'star', mendapat 'kekayaan' dan berbagai alasan yang sulit diterima dalam tataran normal juga norma universal. Itulah kenyataannya, dari sebuah keyakinan terhadap hal yang salah akan pemenuhan kebutuhan hidup....

Tetapi itu bukan potret perempuan Cirebon, bukan budaya Cirebon....dan yang jelas, itu bukan di wilayah Cirebon. Sangat jauh nun di pesisir pantai sana.... Tetapi ketika penyebutan Cirebon sebagai daerah asal adalah kebanggaan bagi mereka, atau mungkin sekedar kemudahan karena Cirebon adalah kota besar, maka generalisasi pun dimulai. Bagai pepatah, rusak susu sebelanga, hanya karena nila setitik....

Ini bukan ketersinggungan tanpa alasan. Ini adalah upaya untuk menjelaskan, yang harus dilakukan di- Pe aR kan. Cirebon adalah pusat sejarah, dimana di sinilah salah satu pusat penyebaran agama Islam di jawa, selain Banten dan Sunda Kelapa. Sejarah meninggalkan jejaknya di sini, dengan adanya Kerajaan Islam, Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan. Di Cirebon pula terdapat jejak sejarah para wali, imam besar agama Islam. Tercatat ada Sunan Gunung Jati dan bahkan Sunan Kalijaga pun melakukan tetirah di kota ini, dalam rangka bermunajat pada Allah SWT, yang dikenal dengan petilasan Sunan Kalijaga....

Jadi dilihat dari sudut manapun, tidak ada pembenaran sejarah dan budaya terhadap "perilaku a-moral" itu, yang bisa dikaitkan dengan generalisasi terhadap distorsi kata 'wadon'. Ini hanya bagian dari anomali sebagian masyarakat, dan selalu ada di setiap daerah manapun.

Dalam konteks yang lebih besar, stigma buruk yang dikaitkan dengan 'sebuah kata', juga disematkan pada kata "Indon".

Dalam arti biasa, kata ini hanyalah pemenggalan untuk penyebutan orang Indonesia oleh warga negara Malaysia. Tetapi pada perkembangannya juga mengalami distorsi yang berkonotasi negatif. "Indon" identik dengan pekerja non formil yang mengais rejeki di sana, sebagai PRT, buruh, dan pekerja rendahan lainnya......yang walaupun tidak dikatakan dengan formil, ditempatkan pada kasta terendah dalam struktur sosial di sana. Lebih parah lagi ketika pengertian 'Indon' bagi majikan-majikan tiran, diidentikan sebagai "budak', yang dibeli di awal, dan bisa diperlakukan semena-mena selayaknya property mereka....

Betulkah stigma "Indon", dengan segala hal negatif hanya untuk mereka yang bekerja di sektor non formil ? Apakah itu tidak berlaku untuk para professional dan keluarganya yang bekerja di sana???
Sampai hari. Ini belum ada kasus besar yang menjawab pertanyaan itu, apalagi jika yang dimaksud adalah di tempat dimana profesionalisme itu dilakukan, semisal dosen di universitas, atau institusi lainnya.
Tapi siapa bisa menjamin, jika mereka tengah berada di tempat umum, tanpa simbol dan label profesionalisme itu, yang melekat hanya orang Indonesia....apakah stigma "indon" pernah memberikan dampak buruk??!!

Cerita dari beberapa teman, itu terjadi...,bahkan pada publik figure kita dan harus diakui itu menyakitkan, tersinggung.....!!! Bisa jadi, sedikit banyak, fenomena kasus Manohara, salah satunya adalah ini... Wallahualam...!!

Jelas sudah, generalisasi stigma "indon" sedikit banyak mempengaruhi pola pandang masyarakat sana terhadap orang Indonesia.... Siapapun itu... Dan ini harus diluruskan....oleh kita tentu saja, sebagai bangsa.....!!!

Dahsyatnya sebuah distorsi kata...."Wadon" juga "Indon" menyentuh wilayah harga diri.....

Akankah ini dibiarkan....atau adakah ide dan upaya untuk bisa meluruskan semua ini....

Perlu kerja keras....kerja cerdas... Untuk tegaknya sebuah martabat....

Jakarta, 14 Mei 2009

1 komentar:

  1. Wadhon di Cirebo.
    Ladies di Banjarmasin.

    Kalo dibiarkan ya jangan lah,bu.
    Kalo menurut saya, yang perlu diperbaiki terlebih dahulu itu adalah pendidikan.
    jangan cuma belajar membaca, menulis,..., menghitung aja. tapi akhlak. kejujuran harus tanamkan, dll.
    saya sebenarnya sangat geram ama peraturan yang dibuat oleh pihak skul or universitas di negeri ini yang tanpa mereka sadari telah mengajarkan suap-menyuap sama murid2nya.
    Pada saat penerimaan Maha/siswa baru, mereka telah berbuat curang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Yang sebenarnya skul itu mempunyai 150 kursi, tapi hanya loloskan 100 siswa saja. yang 50 kursi sisanya, khusus siswa yang ortunya berduit. apa itu yang dinamakan bermoral? Ups...iya bisa juga dikatakan bermoral, BERMORAL LICIK, PEMERAS.

    siswa itu masih kurang asin(karena belum banyak makan asam garam kehidupan) moodnya gak stabil_ naik-turun. jadi, perlu guru2 yang hebat yang bisa peduli dengan siswanya, serta bisa memberi motivasi tanpa lelah. kalau gak dididik sejak dini, maka akan terbawa ke dewasanya. sering putus asa, dll...dan sekarang banyak wadon yang lahir bukan karena terhimpit keadaan ekonomi, tapi pergaulan.

    dari pendidikannya aja payah,makanya juga banyak TKI ilegal di negeri orang. So..., diperlakukan semena-mena dueh sama orang. Kalo sudah gitu, pemerintah jadi makin susah menolong. coba legal, surat2nya lengkap, walau gak gampang ngurusnya, tapi lebih baik daripada ilegal. kalo TKI legal, membuktikan kalo masyarakat Indonesia taat hukum.

    Ugh...panjang-lebar. Maaf ya bu kalo komennya bikin pusiiiing. huehehe..!

    BalasHapus